Rumahnya Manusia

Memiliki rumah sendiri adalah impian semua orang. Apalagi yang sudah menikah seperti saya. Setelah menikah, saya dan suami menempati rumah keluarga dari suami. Kebetulan tidak ada yang menempati karena orang tua suami sudah almarhum. Meski begitu, saya dan suami bertekad untuk memiliki rumah sendiri suatu hari nanti. Rumah peninggalan orang tua suami itu sebenarnya untuk adik bungsu suami saya kelak ketika menikah.

Saya membayangkan punya rumah kayu semi panggung, dengan jendela yang lebar dan halaman yang luas di depan dan belakang rumah. Halaman yang penuh pohon-pohon buah, bunga-bunga yang menyejukkan mata dan menjadi hiburan kala penat datang.


Rumah baru, manusia
Rumah impian

Rumah impian saya, seperti rumahnya Upin Ipin itu lho. Sepertinya nyaman sekali tinggal di rumah panggung seperti itu. Berharap bisa mewujudkannya suatu hari nanti.

Ketika saya dan suami masih bingung antara membeli rumah atau membangun rumah, beberapa teman pernah menyarankan pada saya dan suami untuk membeli rumah siap huni saja melalui KPR. Beberapa kali pula kami mencari perumahan yang cocok bagi keluarga kecil kami. Namun kami urung membeli rumah siap huni itu dengan pertimbangan kualitas bahan bangunan yang rata-rata hanya bertahan lima tahun. Itupun sudah termasuk bagus. Ada teman yang baru dua tahun menempati rumah baru terpaksa harus renovasi karena temboknya mulai retak-retak.
Tak mau mengalami nasib yang sama, akhirnya saya dan suami memutuskan untuk membangun sendiri rumah kami. Kebetulan suami mendapat jatah sebidang tanah yang cukup luas dari almarhum orang tuanya. Sedikit demi sedikit kami mulai menyicil mengumpulkan material. Pertama sekali kami membeli besi berbagai ukuran untuk rangka. Karena suami perfeksionis, maka rangka besi itupun di rangkainya sendiri (selain menghemat biaya juga pastinya). Setelah rangka besi terkumpul, selanjutnya membuat kusen-kusen jendela dan pintu. Beruntung, kami tak harus membeli kayu karena orang tua suami juga mewariskan beberapa pohon jati untuk anak-anaknya (enak sekali ya).

Setelah beberapa material terkumpul, mulailah kami mendesain rumah impian kami. Tidak besar namun juga tak terlalu kecil. Rumah kami hanya berukuran 7x9 m2, dengan teras dan ruang tamu yang mungil, dua kamar tidur, ruang belajar untuk anak-anak, ruang keluarga yang menyambung dengan dapur dan kamar mandi. Cukuplah bagi keluarga kecil kami. Dengan dana yang terbatas, akhirnya berdirilah rumah impian kami. Rumah impian akhirnya kami tempati meskipun belum sempurna. Temboknya masih bata ekspos (maksudnya belum di aci, jadi masih kelihatan batu batanya...hihihi), jendelanya juga belum bisa dibuka. Kalaupun dibuka harus diganjal dengan kayu. Atapnya juga belum berplafon, sampai-sampai kalau hujan seperti ada gerimis didalam rumah. Lantai rumah kami juga tidak berkeramik, tidak juga lantai semen. Lantai rumah kami masih lepohan semen dan pasir kasar yang setiap saat menimbulkan debu yang membuat saya harus menyiramnya setiap sore (bukan ngepel lho?!) Di depan jendela ruang keluarga yang sekaligus ruang makan, saya meletakkan sebuah kursi panjang yang biasanya menjadi tempat favorit Rara (anak ke 3 saya) untuk berdiri, melihat suasana kebun samping rumah, melihat burung-burung yang terbang berseliweran, ayam-ayam tetangga yang berebutan makanan atau kambing tetangga yang memakan pohon pisang kami. Kalau saya sedang sibuk masak, biasanya Rara akan saya letakkan...(eh kok letakkan) maksudnya saya tempatkan di singgasananya. Jadi, saya aman masaknya. Kemudian Rara akan mulai berteriak-teriak dengan bahasa planetnya (kan baru 13 bulan). Biasanya saya juga akan ikut heboh menimpali teriakan Rara (imajine that...it's so fun) Heheheh...yang penting, acara masaknya kelar.

Karena rumah kami tidak terlalu besar, maka kami harus menata perabot seefisien mungkin. Perabot kami atur sedemikian rupa, supaya kami bisa leluasa bergerak. Meja makan kami pun multifungsi. Kalau pagi sampai sore, jadi meja makan yang penuh makanan. Menjelang malam meja makan pun disulap jadi meja belajar sekaligus meja kerja (buat meletakkan lepi saya). Ruang tamu pun multifungsi. Bila pagi sampai sore jadi ruang tamu, malam berubah jadi garasi buat dua sepeda motor dan satu sepeda kayuh kami. Maklumlah karena kami belum punya garasi. Sudah bisa membayangkan bagaimana rumah saya kan?

Meskipun begitu, saya sekeluarga bersyukur sekali memiliki rumah ini. Kami merasa betah meskipun nyamuk kebun selalu menyerbu kami setiap malam. Tapi rumah kami adalah rumah manusia dimana didalamnya kami selalu merasakan kehangatan, kasih sayang dan kedamaian.

Baiti Jannati...rumahku adalah surgaku....

Posting Komentar

4 Komentar

  1. Rumah nenekku dulu rumah panggung, kolongnya tinggi klo air pasang tdk kebanjiran malah aku bisa main ayunan dikolong rumah, ngga perlu pake AC jendelanya besar-besar...tp sekarang jendela segitu gede kemasukan maling kali hehehe.

    Aku pengen punya rumah panggung lg

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maksud saya juga gitu, kalo pas banjir nggak takut kemasukan air. Sekarang sih rumah saya sudah agak tinggi, tapi bukan panggung. Pengen deh, suatu hari punya yang bener2 rumah panggung.
      makasih sudah mampir ya, Mbak..;)

      Hapus
  2. luas rumah bukan jaminan kebahagiaan, ya, mak, yang penting seisi rumah saling mencintai.
    memang rumah panggung juga jadi keinginan saya di masa depan nanti, apalagi dikelilingi kolam ikan ... hehe
    kecup sayang buat Rara, ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, bener banget mbak Ani. Ukuran kebahagiaan setiap orang memang berbeda. Alhamdulillah...meski rumah kami sederhana tapi ada kehangatan dan cinta didalamnya.
      Kecup sayang dan sungkem juga buat tante...dari Rara...mmuaach...

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung dan tidak meninggalkan link hidup. Jangan lupa komentarnya yaaa.....
bundafinaufara.com