Sembuhkan Indonesia dari Cacat Sastra



Dear friends,

Awal mula saya menjadi seorang blogger adalah kecintaan saya pada dunia menulis. Dulu pada saat duduk di bangku sekolah dasar, saya sempat diikutkan lomba mengarang atau menulis hingga ke tingkat Kabupaten. Meski belum pernah mendapat juara, tapi saya bangga karena tulisan-tulisan saya dikirimkan ke majalah Bobo oleh Guru pembimbing saya. Selain ikut lomba menulis, saya juga diikutkan lomba baca puisi. Saya bahkan menjuarai lomba baca puisi hingga ke tingkat kedu (karesidenan). 

Sayangnya, ketika SMP fokus saya beralih ke seni suara, jadi kegiatan menulis sedikit terabaikan. Tapi kegiatan menulis buku diary sih tetep jalan terus, hihi. Nah, ketika duduk di bangku SMA hasrat  menulis tumbuh kembali. Seandainya saja dulu ada jurusan bahasa, pastilah saya memilih jurusan bahasa saja. Saya mulai menulis cerpen genre remaja. Ceritanya kebanyakan tentang suka duka dunia remaja. Sayangnya, saya belum pernah sekalipun mengirimkannya ke majalah atau surat kabar. Maklum lah, dulu saya menulis di buku saja. Menulisnya pun pakai tulisan tangan saja. 

Bertahun kemudian, saya pun memutuskan untuk kembali terjun ke dunia menulis, setelah melewati berbagai pengalaman bekerja di dunia berbeda. Awal mula saya kembali menulis adalah untuk mengisi waktu disela kesibukan saya mengurus rumah tangga. 

Saya mulai membuat blog dan meneruskan hobi saya menulis cerpen. Beberapa ada yang saya kirimkan ke majalah dan tabloid, sebagian saya endapkan di folder komputer. Siapa tahu nanti bisa diterbitin, ya kaaan (pede amat yak). 

Kecintaan terhadap menulis, sejatinya harus berbanding lurus dengan kecintaan terhadap membaca. Tetapi sayangnya, kebanyakan dari kita malas membaca. Faktanya, minat baca di negara kita nomor 2 terbawah di dunia. Miris, ya. Tapi itulah kenyataannya.

Hari Aksara Internasional dan Sastra Indonesia



Saya baru tahu kalau ternyata setiap tanggal 8 September masyarakat di seluruh dunia memperingati Hari Aksara Internasional (aiiih kemana aja saya). Tanggal 8 September yang diperingati sebagai Hari Aksara Internasional ini dicanangkan oleh UNESCO saat sesi ke-14 Konferensi Umum UNESCO pada tanggal 26 Oktober 1966. Tujuan pencanangan ini tak lain adalah untuk mengingatkan masyarakat internasional akan pentingnya melek aksara bagi individu, komunitas dan masyarakat.

Hari Aksara Internasional ini awal mulanya lahir di Konferensi Dunia Menteri Pendidikan untuk Pemberantasan Buta Aksara, yang diadakan di Teheran, Iran pada 8 September 1965. Saat itu, Pemerintah negara Iran mengusulkan agar UNESCO memberikan hadiah literasi internasional untuk mereka yang berjasa dalam perjuangan melawan buta huruf.

Sekedar informasi, berdasarkan Survei Badan Pusat Statistik (BPS), angka buta aksara di Indonesia menurun cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2017 jumlah penduduk buta aksara di Nusantara mencapai 3,4 juta jiwa. Tetapi pada 2018 turun menjadi 3,29 juta orang atau 1,93% dari total populasi penduduk dan kini turun lagi menjadi 1,9 juta jiwa.

Pemerintah Indonesia melalui Kemendikbud mempunyai berbagai program untuk mengentaskan buta aksara. Program tersebut tidak hanya sebatas mengajarkan baca tulis, tetapi juga memberikan program lanjutan seperti Program Pendidikan Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) dan Program Pendidikan Multikeaksaraan.

Program Multikeaksaraan berorientasi pada pemeliharaan keberaksaraan dengan fokus pada 6 literasi dasar, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. Jadi program multikekasraan ini bukan hanya sebatas baca tulis saja, tetapi juga diberikan iterasi IT, literasi finasial, literasi science, literasi budaya dan kewarganegaraan saja sehingga tujuan melek dasar bukan hanya semata-mata baca tulis itu saja.

Sedangkan Program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) berorientasi pada pemberdayaan peserta didik ke sektor usaha mandiri sambil memberi materi pelajaran seputar usaha atau kegiatan mereka. Misalnya saja mereka bekerja sebagai nelayan atau perkebunan, materi-materi pembelajaran yang diberikan akan dikaitkan dengan itu supaya bisa menjadi bagian dari mata pencaharian sehari-hari mereka.

Lalu, apakah setelah melek aksara mereka lantas gemar membaca? Tentu tidak. Orang dewasa yang sibuk bekerja rata-rata akan menjawab tidak ada waktu untuk membaca. Mereka akan lebih memilih bermain gadget sembari tiduran daripada menatap tulisan dalam sebentuk buku atau koran. Ibaratnya, baca berita ringan aja dianggap berat apalagi baca karya sastra ya.

Kini sastra sudah mulai terlupakan. Terutama di kalangan remaja. Sastra seperti sudah kehilangan tempat terhormatnya di Indonesia. Apalagi asumsi masyarakat awam tentang sastra kerap dianggap sebagai sesuatu yang berat, luhung, dan punya nilai-nilai filosofis. Sehingga sastra yang ditulis oleh manusia malah berjarak dengan manusia itu sendiri sebagai pembaca.

Karya sastra tidak banyak diminati seperti jaman keemasaanya dulu. Negara kita memiliki banyak sastrawan dan pujangga. Sebut saja Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar yang karyanya masih dikenang hingga kini. Namun, tak banyak yang mengikuti jejak mereka.

Sebuah karya sastra seharusnya bisa menjadi cerminan jaman, representasi keadaan dan mewakili masyarakat terhadap apa yang terjadi saat ini. Bagi para sastrawan, apa yang terjadi di dunia sastra sekarang cukup berbeda dengan di jaman dahulu.

Indonesia mengalami cacat sastra, dimana aktivitas sastra kini tak lagi diminati. Kegiatan baca puisi, teater dan kegiatan sastra lain makin jarang diadakan. Hal ini mengundang keprihatinan semua pihak, salah satunya pak Kafi Kurnia seorang pakar pemasaran Indonesia yang juga Founder Penerbit Andal Krida Noesatara (AKOER). Beberapa indikator cacat sastra yang diungkap oleh pak Kafi antara lain mulai hilangnya skills dan estetika berbahasa kita, kurangnya kemampuan menulis indah, berpuisi,  menulis surat, membuat cerpen dan sebagainya. Saat kita kehilangan panca indera berbahasa maka akibatnya kita cacat sastra.

Minat baca rendah adalah tantangan bagi penulis untuk membuat tulisannya bisa dinikmati, baik bagi pembaca yang sudah lama membaca, atau yang baru memulai membaca, atau bahkan bagi mereka yang tidak peduli, untuk kemudian menjadi tertarik. Saya pikir nggak hanya penulis buku saja yang mustinya berpikir seperti ini. Saya dan teman-teman penulis blog pun juga harus berpikir bagaimana caranya bisa membuat orang tertarik membaca tulisan kita di blog. Berat, ya. Pasti lah. Tapi semua bisa diperjuangkan, kan.

Sekarang ini saya sedang berjuang untuk menumbuhkan kembali minat baca anak-anak saya, apalagi sekarang mereka sedang dalam masa "belajar dari rumah". Waktu luang mereka saya arahkan untuk membaca. Saya sediakan buku bacaan ringan yang sesuai dengan umur mereka. Majalah anak-anak, komik dan buku dongeng. Dulu, seminggu sekali saya pasti mengajak anak-anak ke toko buku dan membelikan mereka masing-masing satu buku yang mereka sukai. Tapi, semenjak pandemi, kami tak pernah melakukannya lagi.

Sekarang, tiap mereka menyelesaikan bacaannya, mereka baru boleh menonton youtube atau serial kesayangan mereka. Saya ingin mereka gemar membaca seperti yang saya lakukan pada waktu remaja dulu. Sulu, mata saya selalu berbinar ketika Eyang membawakan setumpuk majalah kuncung atau majalah apapaun yang beliau bawa dari sekolah. Bahkan majalah trubus pun saya baca, saking hausnya akan buku bacaan.

Nah, di hari aksara internasional ini saya berharap semoga semakin banyak manusia Indonesia yang melek literasi, semakin banyak yang sadar pentingnya sebuah karya sastra dan banyak yang melanjutkan perjuangan para satrawan dan lahirlah sastrawan-sastrawan muda yang mampu membuahkan karya sastra yang mendunia.

Selamat Hari Aksara Internasional untuk kita semua.


Posting Komentar

0 Komentar