Aku tak menyangka akan
bertemu Ben hari itu. Tiba-tiba saja aku ingin pergi ke pohon itu. Pohon dimana
aku dan Ben selalu bermain di bawahnya. Pohon dimana Ben menuliskan nama kami
berdua dalam sebuah gambar hati. Aku sering pergi pohon itu meski hanya untuk
mengusap namaku dan nama Ben yang terukir disana.
Ben adalah sahabat masa
kecilku. Sudah hampir dua puluh tahun aku mengenalnya. Kami berpisah ketika Ben
dan seluruh keluarganya pindah ke Norwegia. Sejak saat itu aku tak pernah tahu
kabar Ben dan keluarganya. Dua belas tahun berlalu, tak pernah sedikitpun ada
kabar darinya. Aku benar-benar kehilangan Ben. Aku bahkan telah menganggapnya
mati. Aku benci padanya. Aku benci Ben yang melupakanku.
Hari
ini aku pergi kesana dan mendapati seorang lelaki tengah duduk dibawah pohon
itu. Aku hampir berbalik arah kalau saja lelaki itu tak memanggil namaku.
“Hana!
Kamu Hana, kan?”
Aku
tertegun menatapnya. Mata kami bertemu, dan aku ingat mata itu.
“Ben...,”
bisikku. Aku serasa bermimpi. Benarkah lelaki didepanku itu Ben.
Lelaki
itu mengangguk dan mendekatiku, “Ya...aku Ben.”
Dia
nampak berbeda. Rambut panjang sedikit acak-acakan. Tubuhnya lebih tinggi dan berisi. Agak risih
melihatnya menatapku sedemikian rupa.
“Kamu
tambah cantik, Han. Terlihat anggun, aku suka,” bisik Ben.
Wajahku
tiba-tiba menghangat, jantungku mulai berdesir aneh,” Kau juga, Ben. Terlihat
dewasa dengan kumis dan jambangmu itu.”
Ben
terkekeh, “Aku lupa bercukur tadi”. Sekilas mata kami bertemu. Sesaat kemudian
aku dan Ben larut dalam nostalgia masa kecil kami bedua. Kenangan masa kecil
yang tak akan pernah kulupa.
“Kau
jahat, Ben. Tidak pernah berkabar sama sekali. Aku bahkan pernah menganggapmu
mati,” ujarku sengit.
“Maafkan
aku, Hana, sebenarnya aku ingin memberimu kabar, tapi keadaan tidak
memungkinkan waktu itu,” Ben berusaha meyakinkanku.
Tiba-tiba
tangan Ben menyentuh tanganku. Aku sedikit terkejut, tangan Ben dingin sekali.
“Dingin
sekali tanganmu, Ben. Apa karena kau terlalu lama tinggal di negeri berhawa
sedingin kulkas?”
“Hmm,
mungkin. Eh.., sebaiknya kita segera pergi dari sini. Hari sudah mulai gelap,”
Ben gugup dan segera menarik tangannya.
Aku
mengangguk, “Mampirlah ke rumah, Ben. Mama pasti senang bisa bertemu lagi
denganmu.”
“Pasti,
tapi tidak hari ini. Mungkin lain
waktu.”
Aku
sedikit kecewa mendengarnya, “Kapan kau akan menemuiku lagi, Ben?”
“Aku
janji akan lebih sering menemuimu. Asal kau tidak bosan melihatku tiap hari,”
Ben tersenyum
Malam
itu menjadi malam yang paling membahagiakan untukku. Harus ku akui, aku memang
merindukannya. Aku merindukan semua tentangnya.
*****
Sejak
pertemuan pertama di bawah pohon itu, aku dan Ben makin sering bertemu. Ben
sering muncul tiba-tiba dan tanpa aku duga-duga. Rupanya benih-benih cinta yang
dulu pernah layu kini tumbuh kembali. Apalagi ketika Ben menyatakan perasaannya
padaku.
“Aku
rasa, aku telah jatuh cinta padamu sejak kita kanak-kanak, Han. Kau tahu,
betapa susahnya melupakanmu.”
“Aku
pikir kau lupa denganku, apalagi di Norwegia tentu banyak gadis-gadis yang
lebih segalanya daripada aku,” kataku.
“Memang
banyak, tapi tak ada yang secantik dan seunik kamu.” Ben terkekeh kemudian
menjawil pipiku.
“Ben,
benarkah kau mencintaiku?” tanyaku ingin memastikan.
”Tidak.
Aku tidak mencintaimu. Tapi aku sangat...sangat mencintaimu.”
Jawaban
Ben hampir saja membuatku shock, meski
sesaat kemudian membuatku senyumku tersungging.
“Kapan
kau akan menemui mama, Ben?”
Tiba-tiba
wajah Ben murung.
“Maaf...bukan
maksudku..”
“Tidak
apa-apa, Han. Aku hanya khawatir, keluargamu tak dapat menerimaku.”
“Kau
kenal mama dan semua keluargaku, kan? Mereka sudah mengenalmu sejak kau
kanak-kanak. Mana mungkin mereka tidak menerimamu,” tukasku.
“Sekarang
aku berbeda, Hana. Aku bukan Ben yang seperti mereka kenal dulu.”
“Apa
maksudmu kau berbeda? Kau masih manusia, kan? Jangan bilang kalau kau
sebenarnya manusia serigala.”
Tiba-tiba
Ben tertawa, “Sudah...cukup, Han. Nanti kalau sudah tiba waktunya aku pasti
akan menemui keluargamu.”
“Aku
pegang janjimu, Ben.”
*****
Seorang perempuan muda bernama
Sofie datang menemuiku. Dia mengaku saudara sepupu Ben dan membawa berita
penting untukku. Aku tak percaya ketika perempuan itu mengatakan bahwa
sebenarnya Ben dan keluarganya telah meninggal beberapa bulan lalu.
“Bagaimana bisa kau
bilang kalau Ben sudah meninggal, sedangkan semalam saja dia masih menemuiku,”
ujarku.
“Baiklah kalau kau
tidak percaya padaku, Hana. Aku akan mengajakmu ke makam Ben dan keluarganya,”
tutur Sofie.
Akhirnya aku menuruti Sofie dan pergi ke makam
bersamanya. Aku hampir-hampir tak percaya pada apa yang kulihat. Tiba di sebuah
komplek pemakaman keluarga, nampak nisan dari pualam hitam berjajar didepanku. Kupandangi
dan kulihat satu persatu nama yang tertulis disana. Sastranegara, papa Ben.
Martina Sastranegara, mama Ben. Sandy Sastranegara, kakak Ben. Benny
Sastranegara, itu namamu Ben.
Aku lunglai, tak
berdaya di depan nisanmu. “Tega sekali kau padaku, Ben. Bahkan semalam kau
masih menemuiku”
“Bagaimana ini bisa terjadi,” lanjutku.
“Pesawat yang mereka
tumpangi mengalami kecelakaan. Sebenarnya mereka hanya ingin berlibur di
Indonesia sekaligus menengok keluarga yang ada disini. Tapi rupanya takdir
berkata lain. Mereka pulang selamanya disini,” tutur Sofie, saudara sepupu Ben.
“Bagimana kau bisa
menemukanku?” tanyaku.
“Aku tak sengaja
membuka buku catatan Ben yang tertinggal di rumah. Didalamnya ada tulisan Ben
tentang kamu,” tutur Sofie.
“Oh.....Ben.”
“Mungkin sebaiknya kau
saja yang menyimpannya, Hana. Aku yakin Ben pasti setuju,” Sofie menyerahkan
sebuah buku harian berwarna hijau tua padaku.
Dalam sekejap buku
harian berwarna hijau itu telah berpindah ke tanganku.
“Akan kujaga buku ini
seperti aku menjaga cintaku padamu, Ben,” janjiku dalam hati.
*****
Sudah
tengah malam. Tidak biasanya dia terlambat datang. Lampu kamarku bahkan sudah
kupadamkan dan telah kuganti dengan lilin sebagai penerang. Dia tidak suka
cahaya lampu. Dia lebih suka cahaya temaram.
“Cahaya
lilin lebih romatis,” katanya ketika kutanya alasannya tidak suka cahaya lampu.
Tirai
kamar bergerak tertiup angin. Aku mulai merasakan kehadirannya. Srrekk. Srrekk.
“Ben,
kau kah itu?” tanyaku setengah berbisik. Sesosok tubuh muncul di hadapanku. Aku
langsung menghambur memeluknya.
“Jahat
kau, Ben,” aku pura-pura merajuk. Ben terkikik melihatku.
“Kau
masih saja terkejut melihatku, Han. Bagaimana seharusnya aku mendatangimu?”
“Datang
dan ketuk pintu, Ben. Jangan seperti hantu, tiba-tiba saja muncul di depan
hidungku.”
“Bukankah
aku hantu, Han,” Ben tertawa lirih.
“Ben, aku tak suka kau bicara seperti itu.”
Dalam hati aku menyesali kata-kataku.
“Sudahlah,
lupakan. Heii...you look so good today,
dear,” Ben mengalihkan pembicaraan.
Tangan
Ben yang dingin mengacak rambutku. Seperti malam-malam lainnya, kami berdua
mengobrol hingga menjelang pagi. Tak jarang, suara ketukan di pintu kamarku
menghentikan obrolan kami. Biasanya Mama yang gusar menanyakan mengapa selarut
ini aku belum tidur. Karena bisa dipastikan Mama hanya bisa mendengar suaraku
saja. Mama dan yang lain tak akan bisa melihat Ben. Lalu aku akan tidur dalam
dekapannya hingga pagi.
*****
Ben
memang sudah tidak ada. Tapi dia akan tetap hidup di dalam hatiku. Dia akan
selalu menempati ruang khusus di dalam hatiku. Ben akan tetap menjadi bagian
dalam hidupku. Hubungan yang tak lazim ini, biarlah aku jalani. Aku mencintai
Ben. Dia cinta pertamaku dan mungkin juga akan menjadi cinta terakhir untukku.
Ini adalah salah satu cerpenku yang dimuat dalam Antologi Cerpen Sisi Lain
Ini adalah salah satu cerpenku yang dimuat dalam Antologi Cerpen Sisi Lain
Antologi Cerpen Sisi Lain |
2 Komentar
Cinta yg tak pernah mati ya ini mba...
BalasHapusIya mb Uniek....mencintai orang yang sudah nggak satu dunia..;)
HapusTerima kasih sudah berkunjung dan tidak meninggalkan link hidup. Jangan lupa komentarnya yaaa.....
bundafinaufara.com