#BeraniLebih Ikhlas Demi Keluarga

#beranilebih Ikhlas
"Mbak, aku dan teman-teman lolos CPNS tahun ini. Kalau saja dulu mbak nggak mengundurkan diri, pasti mbak juga lolos" tutur salah seorang teman saya ketika mengajar di sebuah SD. 

Pada tahun 2003 saya adalah seorang guru di sebuah Sekolah Dasar. Saya menjadi guru wiyata bakti di sebuah SD yang berjarak sekitar 22 km dari tempat tinggal saya.  Karena masih wiyata bakti, saya tidak mendapat gaji. Hanya selembar uang 50 ribu rupiah sebagai ongkos bensin yang saya dapatkan tiap bulannya. 50 ribu? Iya hanya 50 ribu rupiah. Apakah uang 50 ribu sebulan itu cukup untuk membeli bensin? Tentu tidak sebanding dengan tenaga, waktu dan pikiran yang telah saya curahkan untuk mengajar apabila dihitung secara materi. Tapi saya merasa bahagia ketika melakukannya. Saya ikhlas melakukan semuanya. 
Saya percaya, ketika seseorang melakukan pekerjaan yang sesuai dengan passion-nya, pasti akan bahagia. Saya memang bercita-cita menjadi guru dan berharap bisa jadi PNS sejak kecil.
Ketika sedang menikmati peran menjadi guru, pada tahun 2005 suami mendapat pekerjaan baru di Semarang. Kamipun hidup terpisah. Saya menetap di Purworejo, sedangkan suami di Semarang. Keputusan beratpun diambil. Saya harus meninggalkan pekerjaan saya dan ikut dengan suami di Semarang. Berat memang, tapi saya harus memilih. Mengabdi pada negara dengan bayaran seadanya atau mengabdi pada suami dengan imbalan surga? Sungguh, sebuah pilihan yang sulit.
Akhirnya saya meninggalkan pekerjaan saya demi mendampingi suami tercinta di Semarang. 
Tak berapa lama setelah tinggal di Semarang, saya kembali mengajar meski bukan di SD. Saya mengajar di sebuah TK yang jaraknya juga cukup jauh dari rumah saya. Ternyata mendidik anak TK lebih sulit daripada mendidik anak SD. Tapi akhirnya saya bisa dan mulai menikmatinya. Hingga kemudian, Ibu saya sakit. Sebagai anak tertua, saya harus menunjukkan bakti saya pada Ibu. Dengan restu dan ijin suami, saya merawat Ibu. Saya mengundurkan diri lagi dari tempat saya mengajar. Saya juga kembali berpisah dengan suami dan merawat Ibu. Tapi rupanya Allah lebih sayang pada Ibu. Ibu meninggal setelah 3 bulan sakit pada tahun 2008.  Sepeninggal Ibu, saya dan keluarga memutuskan untuk menemani Bapak dan adik yang masih kecil. Keluarga besar kami memang tinggal berpencar.
Untuk mengisi waktu, saya aktif mengikuti kegiatan di desa. Salah satunya dengan menjadi kader posyandu. Itulah awalnya saya kemudian mendirikan PAUD (pendidikan anak usia dini) di rumah. Meski menjadi pendidik PAUD tidak menghasilkan banyak materi, tapi saya bahagia ketika melihat anak didik saya tak kalah saing dengan anak-anak lain. 
Tahun 2013 saya lulus kuliah. Dan, lagi-lagi saya harus meninggalkan semua yang saya rintis karena suami menginginkan kami berkumpul kembali di Semarang. Meski berat, tapi saya tidak boleh egois. Suami dan anak-anak lebih membutuhkan saya.

Setahun yang lalu saya mendengar kabar bahwa hampir semua teman-teman saya lolos dan diangkat menjadi PNS. Menyesalkah saya karena meninggalkan karier saya? Tidak. Allah telah memilihkan saya jalan dan tempat yang baik untuk saya. Mungkin saya tidak bisa menjadi guru di sekolah, tapi saya bangga bisa menjadi guru bagi anak-anak saya di rumah. Meski awalnya berat, tapi saya ikhlas. Ikhlas demi mendapat kebahagiaan berkumpul dengan keluarga tercinta.

Twitter     : @ikapuspita17 (https://twitter.com/ikapuspita17)
Facebook : https://www.facebook.com/ika.siswowardoyo

 

Posting Komentar

22 Komentar

  1. ya Allah pasti kasih yg terbaik
    sukses ya mak tuk lombanya
    salam knal dariq
    @guru5seni8
    http://hatidanpikiranjernih.blogspot
    www.kartunet.or.id

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, saya yakin itu. Salam kenal juga mb Tya...;)

      Hapus
  2. Inspiratif mbak...Allah memang telah menciptakan skenario untuk kehidupan kita, tak perlu disesali, karena hanya Dia-lah yang Maha Tahu atas kehidupan kita. ikhlas adalah kuncinya, semoga menang ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mb Yuni...betul, Allah pasti memberikan yang terbaik bagi hambaNya...
      Aamiin, terima kasih doanya ;)

      Hapus
  3. Betul sekali mbak, dan ikut suami itu pasti lebih enak. Janjinya kan surga-NYA ALLAH :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bu Wati, ridhonya suami ridho Allah juga...;)

      Hapus
  4. Mbak... aku juga pernah tinggal di Purworejo. Kota kecil tapi ngangeni ya. Adem.

    BalasHapus
  5. Mbak... aku juga pernah tinggal di Purworejo. Kota kecil tapi ngangeni ya. Adem.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Ika...kota Purworejo itu adem, meskipun kota kecil tapi ngangeni. Ayok ke Purworejo lagi mbak...;)

      Hapus
  6. Masya Allah, semoga keikhlasan ini berbuah manis ya mbak Ika

    BalasHapus
  7. Mmang mba...akupun ga mw ngoyo soal kerjaan... yg ptg seneng jalaninnya.. utk apa toh jabatan tinggi, gaji gede, tp waktu kita terkuras di sana... utk nikmatin uangnya pun ga bisa.. aku mah ogah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mb Fanny, betul sekali. Yang membuat kita bahagia bukan uang...tapi kebersamaan dengan keluarga :)

      Hapus
  8. Iya mbak, harus ikhlas ya. Yg kita pilih dan diberikan Allah bisa jadi yg terbaik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mb Susi, hati yang ikhlas membuat kita bahagia..

      Hapus
  9. Segala sesuatu bila dilakukan dengan ikhlas menjadi mudah ya Mak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat mak Rizka...kalau ikhlas, insyaAllah hidup kita tidak ada beban
      Makasih sudah mampir ya mak

      Hapus
  10. Keputusan Allah selalu terbaik yaa...

    BalasHapus
  11. Keputusan Allah selalu terbaik yaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mb Mutia...saya yakin Allah telah memilihkan yang terbaik untuk saya..;)

      Hapus
  12. yang penting ikhlas menjalani pilihan sendiri ya, mak.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan tidak meninggalkan link hidup. Jangan lupa komentarnya yaaa.....
bundafinaufara.com