Antara Aku dan Ibuku


Dear Friends,

Bulan Desember adalah bulan spesial para ibu, begitu sering disebut sebagian orang. Meski sebenarnya bulan lainnya juga spesial menurut saya. Entah kenapa kalo ngomongin Ibu, saya jadi baper. Mungkin karena Ibu saya telah tiada sejak tahun 2008 lalu. Ibu telah meninggalkan kami semua 9 tahun lalu karena penyakit diabetes yang dideritanya bertahun-tahun lalu. Beruntung, di hari-hari terakhirnya saya sempat merawat Ibu, meski semua yang saya lakukan tak sebanding dengan yang telah beliau lakukan untuk saya. 

Ibu, buat saya adalah sosok pekerja keras, ulet, pribadi yang menyenangkan buat keluarga besarnya. Diantara 7 saudaranya mungkin hanya Ibu yang tidak mengenyam pendidikan tinggi dan benar-benar menjadi ibu rumah tangga. Beliau mengabdikan diri sepenuhnya untuk keluarga. Beliau memilih menikah muda dan membantu Eyang Uti mengurus adik-adiknya yang masih kecil (om-om dan bulik-bulik saya) hingga mereka lulus sekolah. Tak heran kalau adik-adiknya menaruh perhatian besar pada beliau saat sakit. Mulai dari membiayai pengobatan hingga mencarikan pengobatan terbaik untuk beliau. 

Selain menjadi sosok spesial bagi adik-adiknya, Ibu juga jadi orang yang spesial bagi tetangga-tetangganya. Semasa Ibu sehat, Ibu selalu diminta untuk mengurus masakan di tempat orang yang sedang hajatan. Ibu selalu dipercaya untuk mengurus dan mengatur menu-menu yang akan dihidangkan. Ibu memang terkenal dengan tangan dinginnya dalam mengolah masakan. Masakan Ibu selalu lezat, meskipun hanya sekedar sayur lodeh atau rendang jengkol. Pantas lah ketika Ibu membuka warung lotek, pelanggannya datang dari berbagai penjuru desa. Tak jarang mereka harus gigit jari karena kehabisan dan datang kembali keesokan harinya. 

Ibu juga sosok perempuan yang tangguh. Dalam situasi berat Ibu masih mampu bangkit dan bergerak demi keluarganya. Saya jadi ingat saat keluarga kami jatuh. Bapak saat itu mengalami kecelakaan yang menyebabkan beliau harus meringkuk di sel tahanan beberapa bulan lamanya. Yang membuat saya salut, Ibu tidak menangisi keadaan itu (entah kalau Ibu menyembunyikannya dari kami anak-anaknya). Ibu berjuang dan mulai berjualan. Meski saudara-saudaranya orang berpunya, Ibu tidak malu berjualan makanan dari sawah ke sawah demi segenggam gabah. Hiks...*mulai mewek. Gabah yang terkumpul kemudian dijemur dan di selep. Setelah menjadi beras, sebagian dimakan sendiri, sebagian lainnya dijual untuk keperluan sehari-hari. 

Ibuku tercinta

Hubungan saya dan Ibu bukannya tanpa konflik. Seringnya karena hobi saya menyanyi (Ibu menganggap menyanyi adalah pekerjaan sia-sia, padahal saya bisa dapat uang dari nyanyi). Beliau sama sekali tidak tahu bahwa saya diam-diam mencari uang dengan menyanyi. Terpaksa saya lakukan diam-diam karena Bapak dan Ibu tidak pernah suka anak-anaknya mencari uang dengan menyanyi (maafkan saya ya Pak, Buk). Ibu juga tidak pernah suka saya pacaran. Semua teman laki-laki saya dicurigai sebagai pacar saya waktu itu. Padahal buat saya mereka itu teman biasa (Ibu posesif). Saya juga diultimatum untuk tidak memacari laki-laki yang bekerja menjadi tentara, polisi dan angkatan-angkatan lainnya (padahal saya pernah memiliki teman dekat dari yang disebutin Ibu). Saya juga diultimatum untuk tidak pacaran dengan bule (saya pun pernah pacaran dengan bule, sampai benar-benar patah hati gara-gara disuruh putus. LOL). Tetapi konflik dengan Ibu selalu berakhir dengan baik. Saya percaya, apa yang Ibu lakukan terhadap saya waktu itu demi kebaikan saya. Kerasnya Ibu dalam mendidik saya adalah demi kebaikan saya. Kini, hasil didikan Ibu sudah saya rasakan sendiri manfaatnya. 

Ah Ibu, tiba-tiba diri ini merindumu.... *mewek lagi. Hiks

Hingga akhir hidupnya, Ibu masih memiliki semangat untuk berjuang. Pemicu sakitnya Ibu adalah jempol kakinya yang luka karena kecipratan minyak panas. Hanya sekitar 3 bulan setelah itu, Ibu tiada. Allah sudah mengakhiri penderitaan Ibu. Allah sudah mengangkat sakit Ibu. 

Ibu...hari itu, Jum'at 17 Oktober 2008, ketika orang-orang sedang berbondong-bondong menuju masjid untuk sholat Jum'at, Allah memanggilmu. Tangis kami pecah ketika menyadari bahwa hari itu adalah hari terakhir kami melihat wajahmu, melihat jasadmu. Air mata tak dapat dibendung ketika diri ini memandikanmu, Ibu. Kubasuh wajahmu yang bersih, wajah yang selalu berhiaskan senyuman menyambut kedatangan kami. Kubasuh dua tanganmu, tangan yang tak pernah letih merawat kami, tangan yang telah berhasil membuat kami seperti saat ini. Kucium pipimu untuk terakhir kali. Pipimu sungguh dingin, Bu. Kupeluk erat tubuhmu, seolah tak ingin berpisah darimu. Ibu....maafkan anakmu yang belum sepenuhnya berbakti padamu. Ibu...tunggu kami di sana Bu. 

Hiks. Gara-gara dua blogger kece yang ngasih tema aku dan ibu nih, saya jadi baper. Hehe...nggak ding. Emang sayanya aja yang baperan ya. Entah kenapa kalo nulis yang berhubungan dengan Ibu saya baper. Mungkin karena ingat, belum bisa sepenuhnya membahagiakan Ibu semasa hidupnya dulu.

Kalau cerita antara aku dan ibu versi Chela dan umi Noorma sendiri gimana? 




Posting Komentar

12 Komentar

  1. Aku juga mewek :(

    Ibuku juga survivor diabetes mbak... Dan kalau sakit aku mesti paling panik.makanya skrg istilahnya ibu diawet2 banget.nggak boleh capek pokoknya....

    Al-fatehah buat ibu ya mbK

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya...Ibuku melawan diabetes kurang lebih 10 tahun, dari yang badannya segar bugar jadi kurus kering

      Hapus
  2. Mbaaakk.. Maaf yaaa bukan maksud saya mau bikin pean mewek..

    Alfaatihah utk iBuk

    BalasHapus
  3. Puk puk mba ika. Kalo kangen kirim al fatihah buat ibu. Eh btw pernah pacaran ama bule tho

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mb Untari, doaku ga pernah putus buat Ibu.

      Pernah 20 tahun yg lalu *jadi malu :p

      Hapus
  4. Al fatihah buat ibunya mbak ika ya, wah mbak ika hobi masak nurun dari ibunya, mirip sama mbak ika, wah pantes hobi nyanyi jadi duka karokean ya 😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, makasih mb Vita

      Iya, mungkin udah bakat turunan ya. Padahl aku nggak pernah bener-bener belajar masak loh

      Hapus
  5. Aku dulu nganggep ibuku protektif banget. Begitu aku punya anak wedok aku jadi memahami kenapa ibuku dulu memproteksi aku sedemikian rupa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya...mau begini nggak boleh, gitu nggak boleh...sebel banget waktu itu

      Sekarang anakku sudah beranjak remaja, aku ngerasain sendiri bagaimana rasanya jadi ibu dari remaja putri

      Hapus
  6. Saya belum pernah kesampaian nulis tentang ibu, pasti baper setiap kali nyusun draftnya heuheu..

    BalasHapus
  7. Semoga Ibunda mbak Ika khusnul khotimah, aamiin.. :)

    Setiap Ibu pasti sangat menyayangi anak-anaknya ya mbak, meskipun belum tentu anak-anak akan berbuat baik juga kepada Ibunya. Saya alhamdulillah sampai saat ini kedua orang tua masih mendampingi kami. Semoga Allah selalu memberi beliau kesehatan dan menjadikan saya anak yang berbakti :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan tidak meninggalkan link hidup. Jangan lupa komentarnya yaaa.....
bundafinaufara.com